SELAMAT DATANG DI MY BLOGGER

Senin, 26 Mei 2008

ARDIANSYAH

Cerpen : KETIKA MEREKA MURKA

Senin, 04-Februari-2008 - oleh : satrio Dibaca 409 kali
KETIKA MEREKA MURKA
( Sebuah kesaksian bagian 2 )


________________________________________________________________________

Ini adalah bagian kedua dari kisah sebuah kesaksian yang pernah saya buat beberapa waktu lalu. Buat yang masih ingat, syukur deh. Tapi buat yang sudah lupa atau belum pernah membacanya, silakan cari di kotak search nya kartunet dengan kata kunci sebuah kesaksian. Semoga berkenan.
________________________________________________________________________


Angin bergerak cepat mengitari hutan, gunung dan laut. Hawa dingin yang dibawanya membuat beberapa hewan hutan semekin merapatkan tubuhnya. Beberapa lembar daun jatuh berguguran. Uap putih membumbung ke langit, Butiran-butiran kecil menghiasi permukaan laut. Derak-derak pohon bersahutan menyelingi teriakan binatang malam. Malam yang tenang itupun berubah seketika menjadi penuh gejolak seiring kedatangan angin yang seolah hendak meluapkan amarahnya.

“Wahai kawan-kawan, mengapa kalian masih tenang-tenang saja sementara kerusakan semakin hari semakin menjadi?” Nada-nada tinggi menggelegar ketika angin mengucapkan kalimat itu.

“Tenanglah hai pengelana! Apa yang membuatmu jadi tak tenang seperti ini?” Gunung megirimkan kehangatan dengan uap putih kawahnya, bermaksud hendak menenangkan angin. Tapi si lincah itu malah semakin cepat bergerak dan berputar. Menghamburkan butiran-butiran putih itu ke segala arah. Seketika langit pun berubah menjadi keruh. Buih di lautpun semakin banyak dan bergerak pasrah dipermainkan angin.

“Bagaimana aku bisa tenang sementara setiap hari aku menyaksikan berbagai kebiadaban terjadi di bumi ini. Bagaimana aku bisa diam sementara makhluk-makhluk bengis semakin meraja rela sesuka hati? Dan mengapa kalian hanya bisa termangu sementara semua itu terjadi di atas punggung kalian sendiri?” Angin bergerak semakin cepat mengangkat butiran-butiran di permukaan laut yang telah berubah menjadi ombak pasang bergulung-gulung.

“Memangnya apa yang telah kau lihat?” Gunung masih berusaha mengendalikan sahabatnya itu. Sementara bongkahan batu kapur mulai menyublim menjadi debu-debu halus.

“Buka mata kalian! Pandanglah ke arah gurun. Dan lihat apa yang dilakukan mekhluk-makhluk tak tahu terima kasih itu disana! Tak ada yang menyahut. Suasana menjadi hening. Hanya gemuruh laut pasang yang menyambut seruan itu. Setelah beberapa detik berlalu anginpun melanjutkan dengan nada yang sama sekali tak berubah.

“Lihatlah bagaimana bangsa-bangsa barbar menindas dan menjajah sesamanya yang lemah. Saksikan bagaimana kejamnya mereka menembak dan meluncurkan rudal-rudal pembunuh. Merampas tanah suci yang mereka klaim sebagai milik mereka! Dengarlah pilunya jerit tangis anak-anak dan wanita yang kehilangan orang tercinta, Juga deru pesawat pembom serta tank-tank berat menghancurkan rumah serta fasilitas penting lainnya. Membuat puluhan nyawa tak berdosa terlantar terlunta-lunta. Tak ada air susu yang tersisa untuk bayi-bayi mereka, apalagi makanan untuk sekedar menyambung nyawa. Sementara di tempat lain, saksikan bagaimana megahnya orang-orang berpesta. Dengan baju-baju mewah dan makanan melimpah dibawah sorotan lampu-lampu dansa.”

Penat, gerah dan panas merebak ke udara menjawab kata-kata angin itu. Seketika laut semakin mengganas, Sementara hutan entah berapa kali membuat retakan pada tanahnya, dahan-dahan semakin deras berjatuhan menghujam bumi. Hanya gunung yang masih tampak tenang. leleran belerang nampak menjalar jaatuh ke sungai. Tapi yang pasti, tak ada satupun kata yang terdengar diantara mereka.

“Mengapa kalian hanya membisu seperti batu? Apakah penglihatan kalian telah menjadi buta, atau telah tulikah pendengaran kalian semua? Kemana kekuatan yang Tuhan berikan kepada kalian. Ataukah kalian takut dengan mekhluk-makhluk tak beradab itu?”

“Tidak!!!

Seketika semua tersentak mendengar teriakan itu. Laut rupanya sudah tak dapat menahan dirinya. Ombak pasang semakin besar dan meninggi. Gemuruhnya menggelegar ditengah deru angin yang berputar. Kilatpun menyambar beberapa pohon besar yang langsung hangus terbakar.

“Jangan katakan itu padaku. Aku diam bukan tak dapat berbuat apa-apa. Tapi aku berharap suatu saat mereka akan insyaf dan menyadari kesalahan yang mereka lakukan itu.” .

“Ha ha ha. Apa yang kau harapkan dari mereka? Suatu saat mereka akan bertaubat? Mustahil! Telah ada penghalang pada mata dan ada pula sumbat pada telinga yang membuat mereka tak dapat lagi mengetahui kebenaran. Hati mereka pun telah dikunci mati karma mereka dengan terang-terangan telah melanggar segala ketetapan Tuhan. Jika kau masih terus menaruh harap, tunggulah sampai seluruh air yang kau punya menjadi darah.” Angin malah mengejek melihat reaksi laut yang demikian itu.

“Hentikan omong kosong itu. Sekarang pun aku sanggup melahap mereka semua hingga tak ada satu pun yang tersisa.”

“Buktikan kata-katamu itu!”

“Tunggu!!”

Serentak angin dan laut terlonjak. Mereka berpaling mencari sumber teriakan itu. Namun rupanya mereka tak perlu bersusah payah. Gunung yang menjulang itulah penyebabnya, dan kini ia telah memerah berlumuran lahar panas yang keluar dari retakan-retakan pada tubuhnya.

“Biar kubantu kau laut. Biar kubakar wajah-wajah sombong itu hingga hangus dak berbentuk, Biar mereka rasakan akibat perbuatan mereka itu. Biar mereka tak dapat berbuat sewenang-wenang lagi.”

“Tapi mengapa,,,,? Laut rupanya takjub sekaligus heran menyaksikan reaksi gunung yang sama sekali tak terduga itu. Tapi sebelum kata-kata itu selesai, gunung malah memotongnya

“Aku muak melihat ini semua. Aku jemu menunggu dan menjaga mereka sementara mereka dengan seenaknya malah berusaha menghancurkanku.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh gunung. Dan kata-katanya itu segera berubah menjadi hujan abu. Angin bergerak semakin cepat dan kini ia berputar-putar diatas hutan.

“Bagaimana denganmu hutan? Masihkan kau memberikan maaf pada mereka yang telah membakar dan membabat tubuhmu tanpa ampun? Masihkah kau memberi iba pada mereka yang dengan terang-terangan hendak memusnahkanmu?”

Hutan tak berkomentar. Hanya tanah-tanah terbelah yang menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Sesaat kemudian longsorpun menjalar membawa ranting-ranting hangus.
“Akan kubuat mereka bernasib seperti ini.” Serunya seraya menghempaskan ranting hangus itu ke dalam lubang dan menimbunnya dengan tanah.

“Baiklah teman-teman. Mari kita beri pelajaran pada mekhluk-makhluk tak tahu terima kasih itu. Biar mereka tahu akibat dari yang telah mereka lakukan selama ini.”

Angin tiba-tiba merubah hembusannya menjadi topan yang menyebar ke segala arah. Sementara laut menggulung pasir dan daratan dengan badai ganas. Hutan pun tak tinggal diam. Di tenggelamkannya rumah-rumah yang berada di sekitarnya dengan longsoran tanah. Sementara gunung meledak dengan kekuatan dahsyat yang tak disangka-sangka. Api menjalar di mana-mana. Menghanguskan apa saja yang dilaluinya. Gelegar ledakan dan halilintar menyatu dengan jerit tangis dan teriakan. Jutaan menusia berhamburan tak tentu arah. Berusaha menyelamatkan diri dari kejaran api dan badai tsunami yang datang dengan tiba-tiba. Tapi air bah dan lahar itu bukanlah lawan yang sebanding dengan mereka. Segera saja tubuh-tubuh yang ketakutan itu dilahap dengan buasnya. Tak peduli lelaki, wanita, anak-anak, ataupun orang tua. Bumi rata dengan tanah. Tak ada rumah, Tak ada gedung mewah, yang ada kini hanyalah mayat-mayat bergelempangan. Sementara yang masih hidup, berusaha menyelamatkan nyawanya.

Diantaranya adalah seorang ibu yang pontang-panting menyelamatkan diri dari kejaran air laut di belakangnya. Sementara kedua tangannya mendekap sesosok bayi merah yang tak henti-hentinya menangis. Ibu itu berlari jaatuh bangun diantara mayat-mayat yang berserakan. Sementara badai terus mengejar. Tak kenal ampun ingin merenggut nyawanya. Hingga sampailah ibu itu pada batas kemampuannya. Ia tak sanggup berlari lagi. Si bayi terlepas dari gendongannya dan jatuh ke tanah. Sementara laut semakin dekat ke arahnya. Melihat itu si ibu berusaha bangkit kembali. Tapi rupanya ia telah kehabisan tenaga. Ia pun hanya bisa mengangkat tangan dan berdoa.

“Ya Tuhan. Apa pun kahendakmu akan kuterima dengan rela. Tapi kumohon, jangan ambil nyawa anakku sementara aku masih hidup di sisinya.”

Setelah memanjatkan doa itu si ibu rebah ke tanah. Sementara si bayi masih bertahan dengan tangisannya. Laut segera bersiap melahap mereka ketika tiba-tiba terdengar suara menyerunya.

“Hentikan! Jangan kalian teruskan!”

Laut menghentikan laju badainya. Gunungpun tak beraksi lagi. Sementara hutan menghentikan longsoran tanahnya.

“Siapa kau?” Seru mereka serempak. Sumber suara itu kembali berujar dari atas langit.

“Aku membawa pesan Dari Tuhan untuk kkalian. Apa yang kalian lakukan itu belum waktunya.”

“Apa katamu? Kami rasa sudah waktunya untuk memberi pelajaran pada mereka.” Angin membela diri mewakili sahabat-sahabatnya.

“Tuhan telah menentukan kapan mereka akan binasa. Tuhan pula yang menentukan kapan kehidupan ini akan berakhir. Tak ada hak bagi kalian untuk mendahului ketetapan itu? Lagipula apakah kalian sudah lupa. Bahwa Tuhan maha pengasih, maha penyayang? Tidakkah kalian lihat betapa lemah bayi yang masih menyusu pada ibunya? Juga betapa khusyu`nya mereka yang berdo`a sambil menyebut nama-Nya? Tuhan tak akan menurunkan azabnya, selama masih ida itu semua. Lalu mengapa kalian mengambil alih posisi seolah kalian menjadi Tuhan? Padahal kalian adalah juga hamba ciptaan-Nya yang juga haarus tunduk pada ketetapannya?”

Mereka semua diam. Tak ada yang berani membantah. Kini tahulah mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah semata-mata karana kekesalan mereka pada ulah sebagian manusia. Mereka juga menyadari, bahwa tuhan tak merestui perbuatan mereka itu. Kini mereka hanya bisa tunduk, pasrah pada apa yang akan Tuhan lakukan terhadap mereka.
Kemarau panjang

Musim kemarau panjang
Hutan yang semakin gundul
Sungai yang mengalir
Kini telah gersang
Sawah dan lading
Rebakar terik matahari
Tanah pecah terbelah-belah
Rumput kiering dan mati
Binatangpun kini kelaparan
Matanya sayu
Badannya kurus kaku…

CERPEN GLOBAL WARMING

Cerpen : sebuah kesaksian

Kamis, 25-Januari-2007 - oleh : satrio Dibaca 734 kali
Saat kegelapan membentangkan selimutnya dan menghantarkan menusia kea lam mimpi yang indah sempurna, bahasa pun telah berganti menjadi bahasa alam yang tak kan dapat kau mengerti. Karna memang yang berbicara saat itu adalah alam. Langit, bumi, serta mekhluk-makhluk yang mengisi hamparannya. Kecuali kita manusia. Kalaupun saat itu ada yang terjaga, takkan mungkin ia dapat menangkap dan memahaminya.

Lautan yang bergelombang, gunung yang tinggi menjulang, serta bulan dan bintang yang cahayanya cemerlang, merekalah yang tengah mengambil alih kekuasaan. Mereka bersama bercakap-cakap tentang apa yang mereka lihat, dengar, dan dilakukan manusia di atas mereka.

“Hai gunung, tahukah kau. Peristiwa apa yang telah terjadi hari ini di atas punggungku? Seru laut kepada gunung.

“Ceritakanlah kepadaku,” Jawabnya.

“Hari ini ada seorang gadis yang telah menumpahkan air matanya. Dia bercerita kepadaku tentang kisah hidupnya yang sanyat memilukan.”

“Bagaimana kisahnya?”

“Dia terseret arus peperangan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Hidupnya kini sebatangkara. Sementara tidak ada sanak saudara maupun kerabat yang mempedulikannya. Mereka sibuk menyelamatkan nyawa mereka masing-masing. Telah banyak darah yang tertumpah, telah banyak pula yang tercerai berai antara sesama mereka. Si istri menjadi janda, Si anak menjadi yatim, Banyak ibu yang kehilangan anaknya, Rumah serta harta benda musnah tak tersisa. Tak pernah seharipun dilalui dengan rasa aman. Desingan peluru dan jerit kesakitan selalu memenuhi setiap sudut dalam kehidupannya.

“Lalu?”

“Dia bertanya kepadaku. Mengapa hal ini mesti terjadi. Kenapa dia yang harus mengalami peristiwa ini? Dimana keadilan? Tak pernah sedetikpun dia merasa kebahagiaan dan ketenangan. Padahal, melalui cerita yang ia dengar dari kawan-kawannya yang sampai kepadanya melalui surat, mereka tengah dalam keadaan yang sangat menyenangkan. Mereka hidup tenang dan aman, bersekolah, bermain, dan bisa melakukan apa yang mereka inginkan tanpa rasa takut dan cemas.”

Suasana mendadak menjadi hening. Tak ada suara yang terdengar memberi tanggapan atas cerita laut. Waktu seperti terhenti. Hampir saja mereka tak menyadari keberadaan lawan bicaranya dan lupa apa yang sedang mereka lakukan, jika saja hutan tak bersuara memecah kesunyian.

“Mengapa kalian semua terdiam?”

Gunung menceritakan kembali apa yang dikisahkan laut kepadanya.

“Kenapa heran? Bukankah itu sesuatu yang lumrah terjadi di bumi ini?”
“Apa maksudmu?” Laut dan gunung serempak bertanya begitu mendengar komentar hutan.

“Apakah kalian tak mengetahui? Bahwa didaerahku setiap hari selalu dipenuhi oleh kekerasan, perkelahian, pertumpahan darah dan nyawa?,. Itu sudah menjadi pemandangan biasa yang diperagakan oleh seluruh penghuni daerahku, semuanya, termasuk manusia”

“Termasuk manusia?”

“Ya, bahkan mungkin mereka lebih buas dari hewan terbuas sekalipun, Mereka mengambil dan menguasai apa yang diinginkannya. Bahkan lebih dari itu. Bayangkan. Setiap hari mereka mengikis dan memotong-motong tubuhku tanpa ampun. Telah banyak pohon-pohon yang tumbuh di atasku yang mereka babat dengan rakusnya. Hanya demi untuk memuaskan perut mereka. Mereka membunuhi hewan-hewan yang tinggal dengan nyaman di dalam perlindunganku. Yang kecil, yang besar, semua mereka bunuh tanpa ampun. Lebih lagi, mereka dengan semena-mena membakar dan menggunduliku untuk kemudian dijadikan lahan pertanian, peternakan, dan tempat tinggal. Tanpa memperhatikan apa akibatnya bagi ekosistem alam. Bahkan terhadap sesama merekapun, mereka bagai singa yang lapar.”

“maksudmu?”

“Baru sore tadi aku menyaksikan segerombolan orang menembaki para penduduk desa yang berada dekat denganku. Mereka melakukan itu dengan alas an tanah yang ditempati para penduduk desa itu adalah tidak sah dan harus dikembalikan kepada pemerintah. Padahal aku tahu persis, telah puluhan tahun dan dari generasi ke generasi mereka telah berdiam disana. Dan aku tahu persis, bahwa itu hanya alas an yang dibuat-buat. Tujuan orang-orang serakah itu hanya satu, yatu memperluas lahan untuk areal peternakan yang mereka kelola. Para penduduk mencoba untuk mempertahankan tanah yang telah lama mereka huni itu. Namun apalah daya si lemah di hadapan yang kuat. Orang-orang itu malah menjawabnya dengan merusak rumah-rumah, membakar fasilitas-fasilitas desa. Dan tanpa segan-segan, mereka memuntahkan peluru untuk siapa yang berani melawan.”

Tak ada yang berani berkomentar atas cerita dari hutan itu. Semuanya terdiam, hanyut dalam fikirannya masing-masing. Suasana tetap sepaerti itu sampai gunung bersuara memecahkan kaheningan. “ Bukankah manusia makhluk yang lebih tinggi derajatnya daripada kita? Mereka mempunyai hati nurani, debekali pula dengan akal dan fikiran agar mereka bisa minilai baik buruknya suatu perbuatan, lagipula mereka diciptakan bukankah untuk membuat kesejahtraan di ala mini?”

“Benar, tapi berapa banyak dari mereka yang menyadari dan menggunakan apa yang kau sebutkan tadi?” Hutan menjawab pertanyaan itu kembali dengan pertanyaan.

“Benar, sedikit sekali dari mereka yang menyadari hal itu. Mereka telah begitu terlena dengan apa yang ada. Mereka hanya mengumbar nafsunya saja. Sehingga tak ada dalam fikiran mereka selain bagaimana memuaskan keinginannya itu. Nilai-nilai dan norma telah mereka lupakan. Hubungan keluarga dan saudara pun telah mereka abaikan. Yang penting bagi mereka, begaimana bisa bertahan hidup dan memperoleh kepuasan darinya sebanyak-banyaknya.” Laut pun mendukung pendapat hutan.

Tinggal gunung yang terdiam mendengar dua pendapat itu. Mungkinkah makhluk yang dibekali dengan segala macam kelebihan itu bertindak sangat jauh dari apa yang seharusnya mereka lakukan? Bukankah mereka seharusnya bersikap bijaksana, adil, saling berkasih saying, menghormati sesama, toleran, serta menjaga dan merawat ala mini dengan sebaik-baiknya? Bukankah nantinya mereka sendiri yang akan menerima akibat dari perbuatan mereka tersebut?? Berbagai pertanyaan terus dating bagai gelombang yang menerpa seluruh tubuhnya, tak dapat dibendung.

“Mengapa kau terdiam kawan?” Seru laut tatkala mendapatkan perubahan pada sahabatnya itu.

“Aku tak habis fikir, Apakah mereka belum mendapat peringatan tentang apa yang akan mereka terima bila terus bertindak seperti itu?”

“Sudah, telah banyak akibat yang mereka terima, bencana alam telah berkali-kali menimpa mereka, Kebakaran hutan, gempa bumi, banjir, longsor, badai di lautan, dan sebagainya. Tapi hanya sedikit dari mereka yang bisa menerima kenyataan dan mengambil pelajaran dari semua itu.”

“Sungguh mengenaskan. Andai saja mereka tahu bahwa nanti mereka akan diminta pertanggunggjawaban atas perbuatan mereka, dan andai mereka tahu kalau kita nanti akan menjadi saksi atas bermacam-macam perbuatan itu,,,,,,Gunung kembali berkata, kali ini kata-katanya itu seperti tertuju pada dirinya sendiri.

s“Sudahlah kawan, tak usah tarlalu kau fikirkan. Tugas kita hanya menjaga agar kehidupan di bumi ini tetap seimbang dan tercegah dari bencana yang dapat menghancurkan kehidupan. Lebih dari itu, Segalanya kita serahkan pada Tuhan, Apa yang manusia lakukan, biarlah Dia yang memberikan balasannya. Lihat! Kawan kita si pengelana datang.” Laut berseru gembira tatkala melihat angin meluncur dengan mulusnya dari kejauhan. “Kabar apa yang kau bawa kali ini wahai angin?”

PUISI TENTANG GLOBAL WARMING

duniaku dirusak
"
Jakarta kok makin panas yeh?
"
gerombolan panas jatuh
di batu jalanan
mendidihkankan seluruh
benda di permukaan
seperti tombak menikam,
menembus raga
kulitku terang jadi hitam,
rambutku pun bercahaya
ulah siapa?
jutaan ekor manusia?
mencabuti hutan
mencakari atmosfir
untuk apa?
sensasi efek rumah kaca?
kebun buah yang komplit
menjadi apartemen elit
langit dan lautpun diwarnai
dengan cat minyak polusi
dimana - mana hujan badai dan petir
kutub - kutub yang perlahan mencair
memenuhi jiwa dengan perasaan kuatir
membuatku berpikir,
untuk tak pernah terlahir
-------------------------------------------------
ah, sudahlah
besok aku sekolah
naik sepeda
seperti habis dijajah

PENGUMUMAN TENTANG LOMBA MENULIS TENTANG GLOBAL WARMING

Re: Lomba-lomba kepenulisan
« Jawab #30 pada: Juni 22, 2007, 04:19:05 pm »

Horeeeeeeee. .. libur sekolah telah tiba!!!

Saatnya mengajak si kecil untuk berlibur, liburan ke rumah nenek di desa, liburan ke tempat-tempat wisata menarik baik di Indonesia maupun di luar negeri pasti menyenangkan. Dalam rangka menyambut liburan sekolah tersebut, Garuda Inflight magazine menyelenggarakan lomba penulisan esai bertema :

"LIBURAN BERSAMA GARUDA"

Kriteria:
* Kategori I : Usia 5 - 9 tahun
* Kategori II : Usia 10-12 tahun
* Panjang esai antara 100-150 kata, ditulis di form yang tersedia di sisipan majalah Garuda atau dapat men-download formulirnya di website www.garudamagazine.com/essay.php
* Esai dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris.
* Esai harus disertai foto peserta lomba ditempat wisata, minimal berukuran 4R, data diri serta foto copy boarding pass atau tiket Garuda Indonesia.
* Setiap peserta hanya boleh mengirim satu tulisan.
* Esai dan persyaratan lomba dikirim melalui amplop tertutup bertuliskan "Junior Holiday Competition" , paling lambat tanggal 15 Agustus 2007 (cap pos), dialamatkan kepada:

TRIAS / BAGUS
Indomulti Media
Globe Building, 2nd floor
Jl. Buncit Raya kav. 31 - 33
Jakarta 12740

* Pemenang lomba akan dihubungi pihak Garuda Indonesia dan diumumkan di Garuda In-flight magazine edisi September 2007
* Lomba ini tidak dipungut biaya

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
021-7918-7008 atau kirim email ke lombamenulis@ indomultimedia.co.id atau www.garudamagazine.com

Hayoooo buruan ikutan..... !!!!!!!!!!.. .....
Liburan si kecil pasti jadi lebih menyenangkan. ......




Lomba cerpen 2008 ( aslinya )
Pengumuman Lomba Menulis Cerpen 2008
KolomKita menggelar lomba menulis cerpen tahun 2008 bertema bebas.
Syarat-syarat naskah yang diikutsertakan dalam lomba:
Naskah cerpen adalah karya asli dari pengarang, bukan mencontoh atau menyalin karya orang lain.
Naskah cerpen harus mengacu pada ejaan yang disempurnakan. Sebagai pedoman Anda dapat membaca selengkapnya di situs ini.
Redaksi hanya menerima naskah yang ditulis di situs KolomKita atau dikirim ke email kami dalam format dokumen MicrosoftWord atau format HTML. Naskah dalam format lain tidak akan diterima.
Walaupun bertema bebas, Redaksi berhak menolak karya yang tidak sesuai dengan ketentuan umum KolomKita.
Semua tulisan yang termasuk kategori cerpen dan dimuat di situs KolomKita sejak bulan Desember 2007 akan secara otomatis diikutsertakan dalam lomba ini. Batas akhir penerimaan naskah cerpen adalah tanggal 31 Desember 2008.
Hadiah untuk pemenang pertama sebesar Rp. 1.000.000,-.
Hadiah untuk pemenang kedua sebesar Rp. 500.000,-.
Hadiah untuk pemenang ketiga sebesar Rp. 250.000,-.
Pemenang akan diumumkan pada bulan Februari 2009. Keputusan juri tidak bisa diganggu-gugat.
Selamat berkarya!
Redaksi
kirim ke email : redaksi@kolomkita.com


Telah terbit sebuah buku yang berjudul “Global Warming For Beginner” karya
Dadang Rusbiantoro dan diterbitkan oleh Penerbit O2 di Yogyakarta. Buku ini
membahas secara tuntas tentang pemanasan global yang mengakibatkan meningkatnya
temperatur suhu rata-rata di atmosfer, laut dan daratan di bumi Penyebab dari
peningkatan yang cukup drastis ini adalah pembakaran bahan bakar fosil,
seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam sejenisnya, yang tidak dapat
diperbaruhi .Salah satu fakta yang cukup membuat hati kita menjadi resah adalah
mencairnya es di kutub utara dan selatan yang menyebabkan kenaikan air laut dan
gelombang pasang. Banyak pulau yang tenggelam dan garis pantai yang menghilang
dengan kenaikan air laut sekitar 20 kaki (6 m) dan mengakibatkan sekitar 100
juta orang hidup dalam pengungsian, sekitar 405.000 hektar daratan Indonesia
dan ribuan pulau kecil akan tenggelam dan 14.000 desa di wilayah pesisir akan
hilang pada tahun 2015. Dari
catatan temparatur sejak tahun 1880 menunjukan 10 tahun terpanas yang pernah
tercatat dan semuanya terjadi pada empat belas tahun terakhir ini. Seluruh dunia
saat ini juga merasakan perubahan ini dengan semakin panjangnya musim panas dan
semakin pendeknya musim hujan, Selain itu, semakin maraknya badai dan banjir di
kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia atau meningkatnya suhu udara yang
sangat ekstrem di berbagai tempat. Suhu yang semakin menghangat ini juga
menyebabkan daerah endemik makhluk-mahluk parasit meluas seperti berjangkitnya
penyakit malaria Narobi dan Kenya. Punahnya berbagai macam spesies termasuk
beruang kutub.
Penghasil terbesar dari pemanasan global ini adalah negera-negera industri
seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dan lain-lain
yang berada di belahan bumi utara. Pemanasan global ini dapat terjadi karena
pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat
lebih tinggi dari penduduk negara selatan yang kebanyakan adalah negara
berkembang. Negara-negara kaya di dunia akan menghabiskan dana yang sangat besar
untuk melindungi daerah pantainya ebaliknya negara-negara miskin mungkin hanya
dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai menuju ke daerah yang lebih tinggi
atau di pegunungan. Di sinilah ketidak adilan iklim ketika negara-negara maju
menolak mengurangi emisinya dan hanya mau mengeluarkan uangnya yang cukup besar
untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang dan perdangan karbon
dengan menjaga hutan tropisnya.
Oleh karena itu, kita harus mencari energi alternatif yang mampu menggantikan
bahan bakar fosil, yaitu menggunakan energi dari tenaga matahari, angin, dan
air. Selain itu, kita bisa menggunakan moto tiga R dari Profesor Wanagari
Maatai sebagai Menteri Lingkungan Hidup dari Kenya: Reduce, Reuse, dan Recycle
(Kurangi, Gunakan kembali, dan Daur ulanglah!) dalam kehidupan kita sehari,
sehingga kita mampu mengurangi emisi dari gas rumah kaca dan menghemat energi.
Dapatkan segara buku “Global Warming For Beginner” karya Dadang Rusbiantoro
yang diterbitkan penerbit O2 ini di toko-toko buku terdekat di kota anda.
Reboisasi Hutan Mangrove untuk Mengurangi Global Warming
posted in Opini, Teknologi | contributor : Penunggu Bale Bengong | 1,659 Views
Oleh I Nengah Subadra

Kerusakan hutan tropis yang terjadi di berbagai negara di dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan dalam dua atau tiga decade yang akan datang diperkirakan akan mengalami ancaman kepunahan yang disebabkan karena penebangan liar (illegal logging), pengalihan fungsi lahan, eksploitasi hutan yang berlebihan, dan lain-lain. Sehingga pada awal tahun 1990-an para ahli lingkungan dari seluruh dunia mengadakan pertemuan di Rio de Jenero, Brasil yang pada intinya membahas mengenai langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk melestarikan alam termasuk juga upaya mengurangi laju kerusakan atau penyelamatan hutan tropis tersebut.
Di Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun dari total luas hutan yaitu seluas 120 juta hektar yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari total luas hutan tersebut, sekitar 57 sampai 60 juta hektar sudah mengalami degradasi dan kerusakan sehingga sekarang ini Indonesia hanya memiliki hutan yang dalam keadaan baik kira-kira seluas 50% dari total luas yang ada. Kondisi semacam ini apabila tidak disikapi dengan arif dan segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan oleh pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia maka dalam jangka waktu dua dasawarsa Indonesia akan sudah tidak memiliki hutan lagi (Mangrove Information Center, 2006).
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4.5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006).
Penebangan hutan baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya.
Kebanyakan orang (khususnya para pengusaha yang memperjualbelikan hasil kayu hutan, investor yang mengembangkan usahanya dengan menebang hutan dan digantikan dengan tanaman lainnya seperti kelapa sawit atau menggantinya denganusaha lain seperti tambak, dan oknum pejabat yang mengeluarkan izin untuk penebangan kayu di hutan) menutup mata dan sama sekali tidak merasa bersalah dan berdosa terhadap bencana-bencana alam yang sudah, sedang dan akan terjadi sehubungan dengan kegiatan yang mereka lakukan.
Miskinnya keperdulian dan kesadaran terhadap lingkungan bagi orang-orang tersebut harus ditingkatkan secara khusus di era yang sedang gencar-gencar membicarakan tentang global warming karena model pendidikan lingkungan yang biasanya dilakukan sudah tidak mampu lagi untuk menyadarkan manusia-manusia serakah tersebut yang cendrung mengkorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Dapat diyakini bahwa orang tersebut memiliki kontribusi yang banyak terhadap global warming yang terjadi sekarang ini sehingga mereka sepantasnya mendapatkan ganjaran yang setimpat atas perbuatannya. Berani dan mampukah aparat penegak hukum di Indonesia untuk menindak tegas para oknum ini demi keselamatan dan keberlangsungan alam serta kepentingan dan kelangsungan hidup manusia di Indonesia dan dunia?
Fakta kerusakan hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang dilakukan sebelum tahun 1990an yang dilakukan oleh investor yang bergerak dalam bidang usaha tambak udang telah mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakt lokal. Tetapi, setelah beberapa tahun beroperasi, tambak-tambak tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan.
Hengkangnya para investor tambak udang tersebut meninggalkan bekas dan luka yang mendalam dan berkepanjangan bagi lingkungan di tempat tersebut sampai sekarang. Pohon mangrovepun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membersarkan udang secara instant. Sedangkan investor-investor tersebut sudah menghilang entah ke mana?
Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan (policy) yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah tentang upaya penyelamatan hutan mangrove yang selanjutnya pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center).
Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA).
Proyek kerjasama ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama dimulai pada tahun 1992 dan berakhir tahun 1997. Pada tahapan ini, Pemerintah Jepang mengirim team untuk melakukan identifikasi hal-hal apa saja yang dibutuhkan dan dilakukan. Dari hasil identifikasi ini, dibentukalan team bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang dan selanjutnya sepakat untuk membangun Proyek Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan.
Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Selain itu, diterbitkan juga buku panduan penanaman mangrove. Hasil yang dicapai pada tahap ini adalah penentuan model pengelolaan hutan mangrove lestari, penerbitan beberapa buku seperti; buku panduan (guide book) persemaian bibit dan penanaman mangrove, buku-buku yang berkaitan dengan mangrove, dan reboisasi atau penanaman mangrove seluas 253 hektar di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA).
Usaha reboisasi hutan mangrove yang telah dilakukan oleh The Mangrove Information Center memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung karena persediaan untuk konsumsi oksigen sudah tersedia di tempat ini dan meningkatkan rasa aman dari bencana tsunami bagi masyarakat yang berdekatan dengan hutan mangrove tersebut. Selain itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian hutan mangrove semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah (dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi) dan industri pariwisata dengan secara sukarela untuk ikut serta menanam pohon mangrove di beberapa tempat seperti di kawasan konservasi The Mangrove Information Center dan Pulau Serangan yang bibit-bibit pohon mangrovenya disediakan oleh pihak The Mangrove Information Center. Usaha lain yang dilakukan oleh The Mangrove Information Center untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan adalah dengan membuka kegiatan wisata alam (ecotourism) sehingga masyarakat dapat melihat, menikmati dan berinteraksi dengan lingkungan secara langsung di kawasan hutan mangrove tersebut.